puisi

Bila Tiba Waktu Berpisah

Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara
Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang
Masih kudapatkan dan kurasakan
Curahan rahmat dan berbagai ni'mat
Yang kerap Kau berikan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Pantaskah kumemohon diri
Tanpa setetes syukur di samudera rahmat-Mu

Di siang hari kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah sahabatku
Di malah hari kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai
Masih kudapatkan dan kurasakan
Keramaian suasana dan ketenangan jiwa
Tapi bila tiba waktu berpisah
Akankah kupergi seorang diri
Tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani

Ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu yang selalu mengotori tubuhku
Ketika kuisi masa-masa yang ada dengan segala sesuatu yang tiada arti
Masih bisa kumenghibur diri
Tubuhku kan bersih dan esok kan lebih baik
Tanpa sebersit keraguan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Masih adakah kesempatan bagiku
Tuk membersihkan jiwa dan hatiku
Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan
Setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan
Masih kudengar dan kurasakan
Suara-suara yang menghibur
Tuk menghapus setiap kecewa dan sesal
Tapi bila tiba waktu berpisah
Adakah yang akan menghiburku
Akankah aku pergi tanpa kekecewaan dan penyesalan

Bumi Pun Berbicara

Bila tiba masanya
bumi pun akan bicara
Di punggungku engkau berlari
ke dalam perutku engkau kembali
Di atasku engkau berjalan dalam kesenangan
di perutku engkau jatuh dalam kesusahan
Di punggungku engkau tertawa
di perutku engkau berduka
Di atasku engkau makan yang diharamkan
di perutku engkau menjadi santapan
Bila tiba waktunya
bumi pun akan bicara
Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan
di perutku engkau dihinakan
Di atasku engkau dalam kebersamaan
di perutku engkau dalam kesendirian
Di punggungku engkau bermandikan cahaya
di perutku engkau dalam gulita
Di atasku engkau durhaka
di dalam perutku engkau tersiksa

hikmah

Kisah Segelas Susu

Suatu hari, Khalifah Abu Bakar al-Shidiq kembali dari pasar. Di rumah, beliau melihat segelas susu murni di atas meja. Karena rasa haus akibat aktivitas yang melelahkan, beliau meminum susu tersebut tanpa curiga sedikit pun tentang asal-usul segelas susu tersebut.

Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, ''Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?'' Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, ''Memangnya susu ini dari mana?'' Pembantunya menjawab, ''Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang.

Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat akan membayar. Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.'' Mendengar itu, langsung Abu Bakar memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak lidah agar muntah. Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya, dan tidak ingin sedikit pun tersisa. Bahkan dalam riwayat itu disebutkan, beliau sampai pingsan karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum dan berkata, ''Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari perut saya, saya rela.''

Banyak disebutkan dalam kisah para sahabat Nabi, para salafu al shalih sangat menjaga setiap makanan dan minuman sebelum masuk ke dalam perut. Ketika mereka sudah benar-benar yakin bahwa makanan tersebut halal seratus persen, barulah mereka berani memakannya, tapi kalau masih berbau syubhat apalagi haram mereka tidak mau memakannya, walaupun harus kelaparan. Para salafu al shalih sangat takut kepada hadis Nabi, ''Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih pantas untuknya.'' Di samping itu, mereka sangat yakin bahwa makanan adalah sumber tenaga dan inspirasi untuk tubuh dan otak. Makanan yang halal akan membuat tubuh gampang untuk melaksanakan ibadah.

Kehati-hatian mereka juga untuk keluarga. Mereka tidak mau memberi makanan yang haram kepada keturunannya agar melahirkan sifat terpuji, karena yakin ketika keluarga diberi makanan yang haram, jangan diharapkan istri dan anak kita akan membawa kedamaian di tengah keluarga. Sang anak dan istri akan jauh dari sifat shalih dan shalihah. Istri-istri di zaman sahabat dan salaf al shalih selalu berpesan kepada suaminya sebelum berangkat kerja, ''Wahai suamiku, kami kuat menahan lapar, tapi tidak kuat terhadap api neraka, carilah rezeki yang halal untuk kami.''

Arti Sebuah Nama

Lebih dari sekedar sebuah agama, Islam sebagai way of life mengonsepkan bahwa pemberian nama seseorang merupakan bagian yang padu dari proses pendidikan. Sebauh nama berkaitan erat dengan penyandangnya : ketika namanya disebut, secara tidak langsung dia didoakan oleh orang yang memanggilnya. Pun tidak jarang seseorang tersugesti untuk merealisasikan namanya. Nama juga digunakan Rasulullah SAW sebagai reward atas jasa seseorang terhadap Islam.

Dengan kebagusan namanya, setiap umat Nabi Muhammad diharapkan akan hadir di tengah manusia (di dunia dan akhirat) dengan penuh izzah (kebanggan) serta keistimewaan akhlaknya. Rasulullah SAW sendiri mempunya dua buah nama yang mempunyai arti yang sama "Yang Terpuji", yaitu Ahmad (QS. 61 : 6) dan Muhammad. Dipadu dengan keindahan akhlaknya, beliau hadir sebagai figure ideal yang memang pantas untuk dipuji.

Allah SWT secara tegas melarang sesama mukmin untuk memberikan julukan yang buruk (QS. Al-Hujurat : 11). Hal ini diperkuat pula dengan perintah Rasulullah SAW untuk menamai seseorang dengan naman-nama yang baik, karena pada hari kiamat kelak setiap peserta hisab akan dipanggil namanya digandengkan dengan nama bapak masing-masing (HR Abu Dawud dengan sanad hasan).

Dalam proses pendidikan umat Rasulullah SAW juga mencanangkan "gerakan pemberian nama baik" untuk para mukmin. Nama-nama buruk diganti dengan nama yang baik, seperti Harb (perang) diubah menjadi Salim (damai), Al-Mudhhaji (yang berbaring) menjadi Al-Munba'its (yang bangkit/gesit), Hazn (susah) menjadi Sahl (mudah), dan sebagainya.
Sementara untuk nama yang sudah baik dihias dengan julukan yang menggambarkan nilai plus seseorang seperti julukan-julukan Singa Allah (Hamzah bin Abdul Muthalib), Hawari Rasulullah (Zubair bin Awwam), Yang Cemerlang dan Yang Suci (Fathimah binti Muhammad), Al-Faruq (Umar bin Khattab) dikalungkan kepada para tokoh terdepan Islam sebagai reward bagi jasa-jasanya dalam syi'ar dakwah Islam.


Adapun hikmah yang dapat kita petik dari gambaran di atas adalah : Pertama, Rasulullah SAW sebagai murabbi (pendidik) utama sungguh memperhatikan secara cermat segala aspek dalam diri mutarobbi (anak didik). Dalam hal ini aspke psikologis menjadi sorotan utama beliau.


Kedua, mari kita mengakui kesalahan kita selama ini. Kita semua merupakan murobbi, paling tidak untuk putra/putri kita masing-masing. Sudahkah kita memberikan nama yang baik, atau julukan yang baik sebagai reward (hadiah) atas sikap mereka yang manis? Ataukah kita lebih sering memberikan julukan yang memalukan sebagai punishment (hukuman)?
Sementara itu patut disayangkan bahwa nama-nama bagus semisal Siti Aisyah, Ahmad, Nurlia dan Salamah dikisahkan secara miring dalam beberapa lagu yang berkonotasi erotisme jahiliyah. Hal ini menjadi "sebab nilai setitik rusak susu sebelanga". Untuk membersikan susu, "Gerakan Nama Baik untuk Semua" ada baiknya dibudayakan kembali.
Masalahnya, siapkah kita mendidik putra/putrid kita menjadi pribadi sesuai namanya?